Postingan

Menelisik Rohingya

Gambar
Beberapa hari terakhir pemberitaan terkait kekera san yang terjadi di Rakhine terhadap etnis Rohingya bersiliweran di berbagai media. Berbagai bentuk respon juga marak di timeline sosial media kita. Mulai dari respon keprihatinan, respon kutukan terhadap orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kekerasan, hingga respon berbentuk caci maki terhadap suatu agama. Namun pada dasarnya peristiwa yang menimpa etnis rohingnya memanglah sangat mengusik kemanusiaan manusia.  Kekerasan yang menimpa etnis Rohingya bukanlah yang pertama kali terjadi. Tahun 2015 lalu Indonesia bahkan sampai menampung 996 orang pengungsi etnis Rohingya yang terdistribusi di Aceh dan Medan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa sebenarnya etnis Rohingya dan apa kesalahan mereka sehingga diperlakukan demikian. Jawaban yang umum muncul adalah Rohingya merupakan muslim minoritas yang menempati daerah Rakhine, Myanmar dan mereka diburu sebab mereka muslim dan kafir membenci muslim.  Sejarah mencatat bahwa Bu

Political Polarization : A Darkside Of Social Media

Gambar
  Along with the rapid pace of technological development, the link between people's lives and social media is increasingly inseparable. The presence of various social media platforms such as Tiktok, Twitter, Instagram, Facebook and other platforms has revolutionized the way humans communicate, share information, and how to participate in public discussions. Social media has great potential for people who want to broaden their horizons and amplify the diversity of ideas and points of view. Unfortunately, the existence of these various social media platforms on the other hand also triggers a sharper polarization, especially in political years. It is not uncommon for this increasingly extreme political polarization to lead to intolerance and even acts of violence, both verbal and non-verbal.   The worsening political polarization in society due to the use of social media is influenced by various factors. One of the factors causing the worsening political polarization on social media i

Polarisasi Politik : Sisi Gelap Media Sosial

Gambar
  Seiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi, kelindan antara kehidupan masyarakat dan media sosial semakin tidak dapat dipisahkan. Hadirnya berbagai platform media sosial seperti Tiktok, Twitter, Instagram, Facebook  dan platform lainnya telah merevolusi cara manusia berkomunikasi,  berbagi informasi,maupun cara berpartisipasi dalam diskusi publik.  Media sosial memiliki potensi yang besar bagi masyarakat yang ingin memperluas wawasan maupun mengamplifikasi keberagaman ide dan sudut pandang. Sayangnya, keberadaan berbagai platform media sosial ini di sisi lain juga memicu semakin meruncingnya polarisasi, terutama di tahun-tahun politik. Dimana tidak jarang polarisasi politik yang semakin ekstrem ini berujung pada sikap intoleransi bahkan tindak kekerasan baik verbal maupun non verbal. Memburuknya polarisasi politik di masyarakat akibat media sosial dipengaruhi oleh beragam faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan polarisasi politik yang semakin memburuk di media sosial adal

Kim Ji Young (Tontonan Saat Pandemi)

Gambar
  Setelah beberapa bulan hampir tidak pernah menyalakan TV, akhirnya semalam saya mulai mengacak-acak kembali remote TV. Pilihan akhirnya saya jatuhkan ke film ini, film yang dulu acapkali saya skip setiap muncul di layar kaca. Barangkali penyebabnya adalah karena dalam fikiran saya film korea tidak jauh beda dari drama korea yang membuat pemirsanya sering menangis atau berimajinasi terlalu tinggi. Semacam kisah-kisah imajiner yang hampir tidak akan ditemui di dunia nyata dimana mayoritas tokohnya ganteng dan cantik serta punya kekayaan yang unlimited. Itulah sebabnya saya dulu sempat menolak ajakan teman untuk menonton film "Parasite", walau akhirnya saya ikuti juga (karna ditraktir...  ). Dimana belakangan ternyata film tersebut memenangkan Award, mengalahkan film-film Hollywood. Parasite memberikan warna yang berbeda, ia menyentuh realitas, begitu juga dengan film ini. Awalnya saya fikir film ini hanya akan bercerita bagaimana si aktor dan si aktris bertemu, memperjuangkan

Perempuan 19 tahun itu..

Gambar
Sedari kemarin foto seorang gadis belia nan cantik, wara wiri di media sosial. Seorang anak tunggal ayah ibunya, yang harusnya bisa saja tetap berdiam diri di rumah mengikuti keinginan junta militer yang sedang melancarkan kudeta, namun ternyata nuraninya menolak takluk. Dia tetap memilih turun ke jalan, menyuarakan penolakannya terhadap upaya membunuh demokrasi di negara itu. Ia dengan sadar meninggalkan zona aman dan memilih untuk tidak bungkam.  Ia bergerak dengan optimisme yang menjalar, yang ia simbolkan dalam kaos hitam dengan nukilan " Everything will be OK". Padahal ia tahu betul, bahwa ia tidak akan baik-baik saja. Selain tanda pengenal, ada dua carik kertas yang sengaja ia bawa. Kertas bertuliskan golongan darahnya, B rhesus positif dan carikan kertas lain yang berisi pesan terakhirnya. Pesan terakhir untuk mendonorkan organ tubuhnya pada orang yang membutuhkan jika sekiranya ia tidak bisa diselamatkan. Seolah ia sadar betul bahwa suatu waktu dalam tindakan heroik y

Mengulik Politik identitas, Sebuah Resensi

Gambar
  Judul buku    :  Identitas ; Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian (Terjemahan) Pengarang    :  Francis Fukuyama Penerbit        :  Bentang Pustaka Tahun terbit : 20 20 Jumlah halaman :  264  halaman   Fukuyama dalam buku ini memulai pembahasan mengenai identitas melalui pengenalan terhadap  thymos . Dimana ia mendefinisikan  thymos  sebagai bagian dari jiwa yang membutuhkan pengakuan atau martabat.  Thymos  sendiri memiliki 2 varian;  isothymia  (tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain) dan  megalothymia  (keinginan untuk diakui sebagai golongan yang lebih unggul). Dua keinginan yang terkesan berlawanan ini menurut Fukuyama dapat saja berjalan seiring, misalnya saja saat seorang tokoh politik yang ingin tampil di barisan terdepan ( megalothymia ) menggerakkan pengikutnya berdasarkan kebencian dan perasaan tidak dihargai dari kelompok tersebut ( isothymia ).  Diskursus mengenai politik pengakuan dan martabat terus berkembang, hingga pada awal abad 19 i

Primadona di Tengah Corona

Gambar
Ilustrasi - Medcom.id. Pemberian bantuan secara langsung, khususnya makanan dan bahan pokok tampaknya lebih banyak menyasar ke driver ojol. Di titik-titik dimana makanan ataupun logistik dibagikan, terlihat mayoritas yang mengantri adalah driver ojol. Begitu juga pengorder yang memesan makanan online, juga mayoritas dihibahkan ke driver ojol. Mereka tumbuh menjadi idola bagi para dermawan yang berkeinginan membantu sesama.  Di sisi lain, para pedagang asongan, mbok jamu, starling (starb*ck kelilin g), dan pedagang kecil lainnya masih belum terlalu tersentuh. Mungkin karena sebagian memilih berhenti beroperasi, karna pusat keramaian tempat mereka mencari nafkah menjadi sepi. Mungkin juga karena kurang gercep (gerak cepat) dibanding driver ojol akibat keterbatasan dalam hal mobilisasi. Sebab sebagaimana kita ketahui, mayoritas mereka menjajakan produknya di kios kecil (sebagiannya pun kios kecil dadakan), berjalan kaki, ataupun bersepeda.  Barangkali distribusi bantuan terhad

Setelah Pemilu Usai

Ini sudah 18 April 2019, sehari setelah perhelatan akbar demokrasi di negara ini digelar. Setelah melalui proses nan panjang dengan beragam dinamika politik, saya fikir kemarin adalah batas dimana keributan berhenti. Batas dimana cebong dan kampret berdamai dan saling support untuk kemajuan bangsa.  Saya beruntung pernah dibimbing untuk lebih memahami persoalan ketahanan nasional, dipertemukan dengan beragam orang, mengunjungi berbagai tempat, serta mendap atkan akses informasi yang cukup. Hal itu membuat saya menyadari betapa menjaga ke-bhinnekatunggal-ikaan itu amatlah penting.  Kita beruntung punya beragam suku, beragam bahasa, budaya, agama, dan beragam golongan yang masih tetap komit berada dibawah kepak sayap Garuda. Bayangkan saja dinegara lain, masih satu suku dan satu agama saja mereka bisa perang saudara. Apalagi kita yang notabene amat beragam, tentunya punya tantangan lebih besar untuk menjaga negara ini tetap utuh dalam bingkai ke-Indonesiaan.  Namun belakangan,