A.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk yang cukup besar dan sangat beragam. Dengan jumlah penduduk
yang lebih dari 250 juta jiwa, ratusan suku dan bahasa serta beragamnya agama
yang di anut makin menegaskan kekayaan indonesia selain kekayaan sumber daya
alamnya. Berbeda dengan negara-negara lain yang hanya mempunyai satu atau dua
suku saja di negaranya, Indonesia justru menarik karna mampu menyatukan beragam
etnis, bahasa, budaya, dan agama dalam sebuah bingkai negara kesatuan republic
Indonesia.
Beragamnya latar belakang warga negara indonesia di satu sisi tentunya sangat membanggakan. Namun disisi lain keberagaman juga menjadi potensi yang menimbulkan gesekan antar kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pemahaman, kultur dan perspektif masyarakat sangat memungkinkan terjadinya hal-hal yang memicu konflik. Seringkali gejala-gejala dan potensi konflik tidak disadari hingga ia meletus menjadi kekerasan yang menimbulkan kerugian pada sekelompok orang. Konflik baru disadari ketika berkembang menjadi kekerasan dan menimbulkan korban.
Indonesia merupakan negara yang
tidak terlepas dari konflik dan kekerasan. Konflik horizontal antara masyarakat
Madura dan dayak di Kalimantan, konflik antar agama di ambon dan seringnya juga
tawuran antar warga yang menelan banyak korban. Selain itu, konflik vertical juga
terjadi di Indonesia, konflik antara negara dengan masyarakat seperti yang
terjadi di aceh lewat gerakan aceh merdeka, konflik yang terjadi di Maluku
lewat RMS ataupun konflik berkepanjangan yang terjadi di papua dengan operasi
papua merdekanya.
Maraknya konflik dan kekerasan yang
terjadi di masyarakat tentu saja mengancam stabilitas keamanan di daerah tersebut.
Tidak stabilnya keamanan didaerah tentu menghambat proses-proses ekonomi,
politik, pendidikan dan sebagainya. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi
ketahanan daerah yang berimplikasi pada ketahanan nasional dari negara.
Terutama jika konflik yang terjadi di daaerah tersebut merupakan konflik
vertical, dimana negara berhadap-hadapan dengan masyarakat. terlebih jika
negara dalam hal ini melakukan kekerasan kepada masyarakat lewat aparatnya. Hal
ini tentu memberikan ruang untuk menguatnya isu disintegrasi bangsa.
Papua merupakan daerah yang sejak
awal berintegrasi ke republik Indonesia selalu mengalami konflik
berkepanjangan. Janji kemerdekaan yang diberikan oleh belanda kepada masyarakat
papua menjadi awal perseteruan antara kaum nasionalis papua dengan kaum
nasionalis Indonesia. Terlebih pada 1 desember 1961 papua sudah diberikan izin
oleh pemerintah belanda untuk mengibarkan bendera serta menentukan lagu
kebangsaannya sendiri. Sehingga setiap satu desember bagi papua dianggap
sebagai hari kemerdekaan. Namun dalam perspektif republic indonesia papua
adalah bagian dari Indonesia yang harus dilepaskan dari kungkungan belanda
sehingga pemerintah indonesia terus memperjuangkan untuk bergabungnya papua ke
Indonesia. Akhir dari perjuangan indonessia adalah bergabungnya papua ke
Indonesia pada tahun 1969 melalui proses PEPERA. Perbedaan persepsi mengenai
keabsahan integrasi papua ke Indonesia lewat penentuan pendapat rakyat (PEPERA)
juga menimbulkan gesekan tajam antara indonesia dengan masyarakat papua. Bagi
kaum nasionalis papua, proses integrasi papua perlu diluruskan karna terdapat
banyak kecurangan. Sementara bagi kaum nasionalis Indonesia proses Integrasi
papua sudah selesai.
Perbedaan pemahaman yang terjadi
terus meruncing antara nasionalis papua dan nasionalis Indonesia. Penanganan
berbasis militer yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat papua
justru menimbulkan banyak korban. Sedikitnya 100.000 jiwa menjadi korban atas
konflik berkepanjangan di papua[1].
Angka tersebut belum termasuk korban dari orang-orang non papua. Dalih “bahaya”
yang diterapkan di daerah papua seolah mengamini terjadinya kasus-kasus
pelanggaran HAM dan genocide terhadap
ras Melanesia oleh aparat keamanan kepada masyarakat papua. Selain itu juga pengkebirian terhadap budaya
papua makin membuat masyarakat papua kehilangan respect terhadap pemerintah
Indonesia. Operasi koteka yang dilaksanakan di wamena pada akhir 70-an pada
akhirnya bermuara pada penghinaan identitas masyarakat lokal[2]
Tulisan ini mencoba mengurai apa
saja yang menjadi akar permasalahan konflik di papua sehingga berkembang
menjadi kekerasan yang terjadi baik antara masyarakat papua dengan pihak
militer maupun kekerasan antar masyarakat papua yang menurut penulis berkembang
akibat kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya kebijakan
transmigrasi besar-besaran yang menjadi
sumber konflik antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli. Selain itu
penulis juga mencoba menganalisa kendala apa yang membuat konflik di papua
tidak kunjung usai. Sehingga akhirnya rekomendasi strategi terhadap
penanganan konflik papua bisa menjadi
lebih tepat sasaran.
B.
KONFLIK
DAN KEKERASAN DALAM TINJAUAN TEORI
Konflik
dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Seringkali defenisi dan pemahaman
terkait konflik dan kekerasan dipertukarkan atau disamakan. Konflik adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki
atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan[3].
Sementara, kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur
atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial, atau lingkungan,
dan/ atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh[4].
Berdasarkan
pengertian konflik di atas, ada dua sumbu mendasar dari konflik yaitu unsure
perilaku dan sasaran. Sehingga konflik bisa digambarkan sebagai berikut :
SASARAN
|
|||
PERILAKU
|
PERILAKU
YANG SELARAS
|
TANPA
KONFLIK
|
KONFLIK
LATEN
|
PERILAKU
YANG TIDAK SELARAS
|
KONFLIK
DI PERMUKAAN
|
KONFLIK
TERBUKA
|
Setiap
tipe konflik di atas memiliki potensi
dan tantangannya sendiri sebagai berikut
1.
Tanpa
konflik, kesan umumnya adalah lebih baik, namun setiap
kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan ini terus
berlangsung, mereka harus bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik,
perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif
2.
Konflik
laten, sifatnya tersembunyi dan perlu di angkat ke
permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif
3.
Konflik
terbuka, adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata
dan memerlukan berbagai tindakanuntuk mengatasi akar penyebab dan berbagai
efeknya
4.
Konflik
di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar
dan muncul hanya karna kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi. [5]
Bedasarkan
tipe-tipe konflik di atas, kita dapat mengidentifikasikan konflik yang terjadi
di sebuah kelommpok masyarakat, daerah atau negara. Selain tipe-tipe konflik seperti yang
disebutkan diatas, Thung ju lan mengidentifikasikan konflik yang terjadi di
Indonesia menjadi beberapa jenis yaitu[6] :
1. konflik
separatis, antara pemerintah pusat dengan sekelompok orang yang memperjuangkan
kemerdekaannya, yang disebut juga oleh beberapa orang konflik vertikal (tim
peneliti LIPI, 2001)
2. konflik
komunal, konflik yang pecah antara dua atau tiga kelompok masyarakat karena
antagonism atau perseteruan primordial atau warisan sejarah, kadang-kadang
berdasarkan ideology atau agama (tim peneliti LIPI, 2001)
3. konflik
yang memperebutkan sumberdaya alam (Polkinghorn 2000), biasanya menyangkut
control atas sumberdaya hutan atau mineral. Konflik jenis ini semata-mata
konsep pembantu, dan tidak menilai terlebih dahulu analisis mengenai situasi
setiap konflik.
Konflik
separatis di Indonesia kita bisa melihatnya pada kasus di Aceh, Maluku, Papua
atau yang lebih kongkrit adalah kasus separatism di timor timur sehingga lepas
dari indonesia. Konflik komunal kita bisa lihat pada kasus ambon, sampit, poso
dan lainnya. Sementara konflik yang memperebutkan sumberdaya alam,
sedeerhananya kita bisa lihat kasus perebutan mata air di pandeglang yang
sedang terjadi hari ini sehingga presiden menetapkan status quo terhadap mata
air tersebut. Konflik di aceh dan papua juga tidak bisa kita nafikan bahwa ada
unsure perebutan sumberdaya alam di sana. Terlebih aceh punya lading minyak dan
papua punya tambang emas.
Konflik
sebaiknya memang harus diselesaikan, karna jika konflik tidak diselesaikan
melainkan hanya di tekan, maka akan timbul konflik baru di kemudian hari.
Peredaman konflik di aceh dan papua lewat daerah operasi militer (DOM) memang mampu
menekan konflik, namun justru menjadi awal kebencian dan ketidak percayaan
masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin ketika
kekuatan dirasa cukup maka konflik akan kembali lagi dengan kekuatan yang lebih
besar. Trauma akibat pengalaman pribadi atau pengalaman kolektif tentang
kepedihan atau kekerasan biasanya menjadi penghalan dan hambatan dalam
penyelesaian konflik. Jika suatu kelompok atau suatu negara merasa bahwa mereka
sudah diperlakukan secara tidak adil atau menjadi korban kejahatan dimasa lalu,
mereka akan cenderung teringat pada ketidakadilan itu, mereka takut hal yang
sama akan berulang dan mungkin juga mereka aktif dalam mencari kesempatan untuk
melakukan balas dendam kepada pihak yang dipandang sebagai musush mereka.[7]
Biasanya
konflik baru disadari ketika munculnya persilangan pendapat atau bahkan
kekerasan. Konflik berubah menjadi kekerasan apabila[8] :
1. saluran
dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai
2. suara-suara
ketidak sepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi
3. banyak
ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas.
Ada
berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengelola konflik. Pendekatan –
pendekatan ini bagi sebagian orang dianggap sebagai tahapan dari penyelesaian
konflik. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan difokuskan pada pendekatan
terhadap tipologi konflik laten, konflik dipermukaan dan konflik terbuka. Berikut
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengelola konflik :
1. pencegahan
konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
2. penyelesaian
konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu
persetujuan perdamaian
3. pengelolaan
konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong
perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat
4. resolusi
konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan
yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan
5. transformasi
konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan
berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan
politik yang positif[9]
Meningkatnya
kekerasan
|
Meningkatnya ruang lingkup
|
Konflik laten
|
Konflik dipermukaan
|
Konflik terbuka
|
|
Pencegahan konflik
|
|||
Penyelesaian konflik
|
|||
Pengelolaan konflik
|
|||
Resolusi konflik
|
|||
Transformasi konflik
|
C.
AKAR
MASALAH KONFLIK PAPUA
Konflik
dan kekerasan yang terjadi di papua bisa dikatakan sangat kompleks. Konflik
yang terjadi di papua hari ini tidak hanya konflik vertical, yaitu konflik
antara pemerintah pusat dan masyarakat papua.
Namun, konflik yang terjadi di papua hari ini juga meluas menjadi
konflik horizontal seperti konflik antar agama, konflik antar suku, dan konflik
yang terjadi antara masyarakat asli dan pendatang.
Jika
kita merujuk pada jenis konflik seperti yang dikemukan oleh Thung Ju Lan maka
konflik yang terjadi di papua dapat di golongkan menjadi ketiganya walaupun
akarnya hanya ada pada jenis konflik separatis. Konflik separatisme berkembang
menjadi konflik komunal antar suku yang ada, konflik antara penduduk asli
dengan pendatang serta konflik antar agama. Kebijakan transmigrasi yang
dicanangkan pemerintah indonesia serta diskriminassi terhadap penduduk asli
cukup memberi andil besar terhadap berkembangnya konflik komunal di papua
disamping konflik separatism yang terus berlangsung. Kehadiran Freeport dan
ditemukannya berbagai sumberdaya alam yang melimpah di papua juga menjadi dasar
terjadinya konflik perebutan sumberdaya. Terlebih pembangunan Freeport yang
berada di atas wilayah adat suku amungme dimana tempat tersebut bagi suku
amungme adalah tempat keramat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Tentu
saja selain Freeport nya, hal tersebut juga menjadi pemicu konflik di wilayah
sekitar Freeport. Terakhir pembangunan smelter Freeport yang dibangun di atas
tanah milik suku kamoro juga mencetuskan konflik baru yang terjadi disana.
Akar
permasalahan konflik yang terjadi di papua menurut hasil penelitian lembaga
ilmu pengetahuan indonesia (LIPI) yang dituangkan dalam buku papua road map
terdiri dari empat permasalahan, yaitu [11]:
1.
Sejarah integrasi, status politik dan identitas
Konflik
papua menurut LIPI lebih disebabkan oleh perbedaan tajam dalam konstruksi
nasionalisme indonesia dan nasionalisme papua. Bagi para nasionalis indonesia,
papua adalah bagian dari indonesia terlepas dari perbedaan ras dan kebudayaan.
Sementara bagi kaum nasionalis papua, ke-papua-an didasarkan pada perbedaan ras
antara orang indonesia ras melayu dengan orang papua ras Melanesia. Perbedaan
pandangan mengenai ke absahan proses integrasi papua ke Indonesia melalui
proses PEPERA juga menjadi penyebab perbedaan tajam konstruksi nasionalisme
papua dan nasionalisme indonesia.
Menurut
chauvel (dalam widjojo, 2009) nasionalisme papua dibentuk oleh empat factor
utama yaitu[12]
:
a. Sebagian
papua berbagi kekecewaan sejarah dimana tanah airnya diintegrasikan dengan
indonesia
b. Elit
papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat-pejabat indonesia yang telah
mendominasi pemerintahan sejak periode belanda
c. Pembangunan
ekonomi dan pemerintahan di papua melanjutkan sense of difference (perasaan berbeda)
d. Banyaknya
pendatang dari luar papua yang memperbesar perasaan bahwa orang papua
dimarjinalisasikan
Sementara menurut McGibbon (dalam
widjojo, 2009), berkembangnya nasionalisme papua disebabkan janji pemerintah
belanda untuk memberikan kemerdekaan pada papua. Terlebih pada 1 desember 1961
belanda sudah memberi izin pada masyarakat papua untuk mengibarkan benderanya
serta menyanyikan lagu kebangsaannya sendiri sehingga setiap 1 desember selalu
ada upaya peringatan di papua dengan mengibarkan bendera.
2.
Kekerasan politik dan pelanggaran HAM
Sebagai
implikasi dari konstruksi nasionalisme indonesia yang menganggap papua adalah
bagian dari indonessia maka upaya-upaya untuk tetap mempertahankan papua agar
tetap menjadi bagian dari negara indonesia terus dilakukan. Pendekatan militeristik
yang digunakan oleh pemerintah meniscayakan upaya untuk mempertahankan NKRI
serupa dan sebangun dengan perang melawan musush yang nyata dan bersenjata.
Pendekatan keamanan digunakan untuk menumpas kaum nasionalis papua yang oleh
kacamata pemerintah dianggap separatis. Akibatnya banyak rakyat sipil papua
yang menjadi korban dari kekerasan TNI. Hal ini justru membuat image
pemerintahan indonesia di mata rakyat papua semakin buruk, terlebih sejak
peristiwa pembunuhan Theys Eluay, ketua presidium dewan papua yang ditemukan
tewas dalam mobilnya di perbatasan papua nugini. Sopir theys sampai saat ini
belum ditemukan. Theys ditemukan tewas setelah menerima undangan dari Kopassus.
3.
Kegagalan pembangunan
Menurut
hasil penelitian LIPI, disparitas ekonomi dan pembangunan antara papua dan
daerah-daerah lain di Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict of interest para pendatang di tanah papua, diskriminasi
kebijakan pusat kepada daerah, dan eksploitasi budaya dan SDA papua. Otsus
tidak menjamin terciptanya kesejahteraan dan pembangunan ekonomi untuk rakyat
papua. Berdasarkan data BPS papua 2006, Pertumbuhan ekonomi sebelum otsus pada
tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18 %, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%.
Sementara pertumbuhan ekonomi setelah otsus diimplementasikan hanya mencapai
8,7%, 2,98%, dan 0,53%.
Pada
tahun 2003, di kota-kota provinsi dan kabupaten para pendatang menguasai 90%
perekonomian, perdagangan, tenaga kerja, transportasi, kantor-kantor swasta,
dan bisnis lainnya[13].
Bagi masyarakat papua, wacana pembangunan tidaak lebih dari bentuk diskriminasi
dan marginalisasi penduduk asli papua serta upaya mengenalkan kapitalisme yang
bermuara pada eksploitasi sumberdaya alam papua.
4.
Inkonsistensi kebijakan otsus dan
marginalisasi orang papua
Jumlah
orang asli papua yang mengalami penurunan akibat kekerasan yang dilakukan
aparat terhadap penduduk asli papua dengan dalih keamanan. Sementara di sisi
lain jumlah pendatang semakin banyak. Jika pada tahun 1959 jumlah pendatang
masih kurang dari 2% namun pada tahun 2005 jumlah pendatang di tannah papua
sudah mencapai 43%. Dan bukan tidak mungkin penduduk asli papua menjadi
minoritas di tanah airnya sendiri. Terlebih ekspresi budaya mereka selalu
dicurigai terkait dengan praktik politik separatisme.
D.
AKTOR
– AKTOR YANG TERLIBAT DALAM KONFLIK PAPUA
Aktor-aktor
yang terlibat dalam konflik papua dapat dibedakan dalam dua kutub yaitu kutub
merah untuk yang pro papua merdeka dan kutub biru untuk yang pro- NKRI. Mabes
TNI membuat pemetaan actor-aktor dalam konflik papua menjadi empat kelompok
sebagai berikut : matoa merah, matoa merah muda, matoa biru muda dan matoa biru[14].
Sementara LIPI membaginya menjadi kelompok aktor dalam konflik papua menjadi 5
kategori yaitu merah sekali (MS) merah muda (MM), merah-biru (MB), biru muda
(BM) dan biru sekali (BS)[15].
Dari
ketiga kelompok tersebut, pelaku-pelaku utama yang terlihat signifikan dalam
perjuangan politiknya di tanah papua dapat disederhanakan menjadi pemerintah pusat,
TNI, POLRI, OPM (operasi papua merdeka), PDP (presidiumdewan papua), DAP (dewan
adat papua), gereja-gereja dan lebaga keagamaan, LSM, ormas dan
kelompok-kelompok suku di papua[16]. Berikut keterangan terkait kelompok yang
terlibat dalam konflik serta kepentingan yang dibawa :
1. Pemerintah
pusat
Pemerintah
pusat dalam hal ini termasuk dengan perangkat-perangkatnya di PEMDA, MENDAGRI
hingga TNI dan POLRI. Kepentingan pemerintah disini terkait dengan kontrol
terhadap sumberdaya dan repapuanisasi guna menjaga keutuhan NKRI. Namun
pendekatan militeristik yang digunakan oleh pemerintah dengan terjadinya
kekerasan-kekerasan oleh aparat serta banyaknya pelanggaran HAM di papua atau
kebijakan satu arah tanpa adanya dialog bersama dengan kaum nasionalis papua
justru membuat konflik meruncing.
2. Organisasi
papua merdeka
OPM
berdiri pada tahun 1965 dan terfragmentasi dalam berbagai kelompok gerilya dan
organisasi kecil serta tidak memiliki sistem komando terpusat dan sistem
persenjataan yang lengkap sebagaimana gerakan aceh merdeka. Pemimpin OPM yang
cukup populeradalah Kelly kwalik asal amungme, selain itu juga ada mathias wenda. Kepentingan OPM dalam konflik
ini adalah menjadikan papua sebagai negara yang merdeka.
3. Presidium
dewan papua
Presidium
dewan papua lahir melalui kongres papua II pada Mei-Juni tahun 2000. PDP
merupakan satu-satunya lembaga yang secara informal memiliki legitimasi
politik, sosial dan budaya secara luas dari masyarakat papua. Lembaga ini
membawahi panel paua yang dibentuk disemua kabupaten dan diharapkan dapat
mewadahi aspirasi pro kemerdekaan papua di tingkat kabupaten. Ketua PDP adalah Theys Eluay yang dibunuh pada tahun
2001,sementara sekjendnya adalah Thaha Al Hamid. Kepentingan PDP dalam hal ini
adalah mewujudkan kemerdekaan papua.
4. Dewan
adat papua
Jika
PDP bergerak dalam hal politik, dewan adat papua bergerak dalam wilayah sosial
budaya. Lembaga ini dibentuk untuk menghimpun berbagai pemimpin suku/adat dan
mengutamakan perjuangannya pada masalah-masalah hak ulayat dan kebuddayaan
papua. Perjuangan utama lembaga ini adalah menegakkan hak-hak dasar rakyat
papua yang berkaitan dengan indigeneous
and community right. Ketua DAP pertama kali adalah Tom Beanal dengan dua
sekjendnya yaitu sekjend DAP, Leo Imbiri dan sekjend pemerintahan adat Fadhal
Alhamid.
5. Gereja
dan lembaga keagamaan
Dalam
konflik papua peran institusi keagamaan sangat signifikan dalam mewujudkan
perdamaian papua. Gereja yang cukup dominan peranannya adalah gereja katolik,
gereja kristen injili di tanah papua (GKIT), gereja kigmi dan gereja Baptist.
6. Lembaga
swadaya masyarakat
Pada
masa awal reformasi, salah satu LSM yang penting dalam konflik papua adalah
ELSHAM (lembaga studi hak-hak asasi manusia) papua yang dipimpin oleh John
Rumbiak. Namun dewasa ini LSM yang
paling konsisten dalam advokasi HAM di papua ialah aliansi demokrasi untuk
papua (ALDP). Lembaga ini didirikan di jayapura tahun 1999 dan dipimpin oleh
Latifah Anum Siregar peraih woman peace maker tahun 2007 dari Colombia
University – University Of San Diego. Selain itu juga ada banyak LSM-LSM lain
sepertiLBH papua, KONTRAS papua, PBHI, ELSAM, kelompok kerja papua dan
Imparsial.
7. Pemimpin
adat atau kepala suku
Kepala
suku ialah lembaga tradisional yang mengatur relasi-relasi antar orang papua
dalam suatu suku atau klan tertentu. Kedudukan kepala suku ini menentukan sikap
masing-masing suku terhadap permasalahan yang ada. Berkaitan dengan konflik
papua, mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda antara memilih merdeka atau
otonomi khusus.
E.
STRATEGI
PENYELESAIAN KONFLIK DAN KEKERASAN PAPUA
Konflik
di papua berdasarkan tipologinya dapat dikategorikan sebagai konflik terbuka.
Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi di papua bukan sekedar konflik yang
muncul tiba-tiba namun memiliki akar yang jauh
jika kita tarik kebelakang, yaitu pada proses integrasi papua ke
indonesia atau pada janji masyarakat belanda untuk kemerdekaan bagi rakyat
papua. Munculnya perlawanan terhadap keputusan integrasi papua ke Indonesia
baik perlawanan secara politik maupun yang berujung pada kekerasan semakin
meneguhkan bahwa konflik di papua termasuk dalam tipologi konflik terbuka.
Berdasarkan
teori pendekatan dalam mengelola konflik, maka untuk mengelola konflik terbuka
ada tiga pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan penyelesaian konflik,
pendekatan resolusi konflik dan pendekatan transformasi konflik. Untuk konflik
terbuka, maka langkah pertama yang harus dilakuakan adalah penyelesaian konflik
guna mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian. Hingga
hari ini belum ada titik temu antara kaum nasionalis papua dan kaum nasionalis
indonessia dalam membicarakan perdamaian papua. Walaupun di sebagian daerah
kekerasan tidak lagi muncul namun di daerah tersebut konflik latennya masih ada
karna akar permasalahannya tidak diselesaikan.
Dialog
papua-jakarta yang di gagas dan di suarakan hingga hari ini belum ada
implementasinya. Sehingga konflik dan
kekerasan masih terjadi di tanah papua. Terutama kekerasan yang dilakukan oleh
TNI terhadap orang-orang yang disinyalir separatis. Bentuk penyelesaian konflik
yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat papua adalah dengan melaksanakan
operasi-operasi militer. Target pemerintah menyelesaikan kekerasan yang terjadi
lewat operasi militer justru berbuah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI.
Maka dalam penyelesaian konflik papua yang notabene masuk dalam kategori
konflik terbuka hendaknya dilakukan melalui proses dialog dengan melibatkan
semua aktor-aktor yang terlibat dalam konflik papua. Dengan proses dialog yang
dilakukan maka akar permasalahan dan konflik yang ada tidak berkembang menjadi
kekerasan.
Pendekatan
kedua yang dapat dilakukan adalah pendekatan resolusi konflik. Pendekatan
resolusi konflik dilakukan untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok
yang bermusuhan. Pendekatan resolusi konflik dilakukan ketika kekerasan yang
terjadi di papua dapat diselesaikan. Jika pendekatan penyelesaian konflik sudah
dilakukan, maka proses membangun hubungan baru antara aktor dalam konflik.
Indonesia dalam hal ini menangani konflik papua lewat kebijakan sebagai
instrument resolusi konflik. Namun terdapat ketimpangan atau perbedaan
perlakuan dan kebijakan oleh pemerintah dalam menangani konflik di papua dan
aceh. Kebijakan pemerintah sebagai instrument resolusi konflik dimuat dalam
buku oase gagasan papua damai, dapat dilihat dalam table berikut[17]:
Rezim politik
|
Instrument untuk aceh
|
Instrument untuk papua
|
BJ Habibie
21 mei 1998-20 oktober 1999
|
UU no 44/1999 tentang status
keistimewaan aceh
|
UU no 45/1999 tentang provinsi irian
jaya tengah dan barat
|
Abdurrahman wahid
20 oktober 1999-23 juli 2001
|
·
Perundingan jeda kemanusiaan
(2000)
·
Pembahasan RUU tentang Otsus aceh
|
Pembahasan RUU tentang otsus papua
|
Megawati
23 juli 2001- 20 oktober 2004
|
·
Perundingan CoHA (2002)
·
UU no 18/2001 tentang otsus aceh
·
|
UU no 21/2001 tentang otsus papua
|
Susilo bambang yudhoyono I
20 oktober 2004-20 oktober 2009
|
·
Perundingan Helsinki (2005)
·
UU no 11/2006 tentang otsus aceh
|
UU no 24/2007 tentang perubahan nama
Irjabar menjadi papua barat
|
Susilo bambang yudhoyono II
20 oktober 2009-20 oktober 2014
|
·
Perpres no 65/2011 tentang
percepatan pembangunan papua dan papua barat (P4B)
·
Perpres no 66/2011 tentang unit
percepatan pembangunan papua dan papua barat (UP4B)
|
Sumber : oase gagasan papua damai,
2011
Berdasarkan
tabel di atas kita dapat lihat bahwa terdapat perbedaan perlakuan terkait
kebijakan dalam resolusi konflik antara aceh dan papua. Pada konflik aceh,
pemerintah membuka ruang-ruang dialog sehingga terdapat kesepakatan-kesepakatan
antara aktor-aktor yang berkonflik. Otsus aceh lahir melalui proses panjang
dialog antara nasionalis aceh dan nasionalis indonesia. Perundingan Helsinki
menjadi puncak bagi dialog perdamaian aceh. Kekerasan yang terjadi di aceh
diselesaikan terlebih dahulu melalui proses dialog sebelum dilahirkan
kebijakan. Sehingga proses resolusi konflik di aceh dapat berjalan dengan baik.
Berbeda hal nya dengan papua,
pemerintah tidak membuka ruang-ruang dialog dan hanya melahirkan
kebijakan-kebijakan yang pembentukannya didasarkan pada perpektif sepihak,
yaitu perspektif nasionalis indonesia. Akibatnya penyelesaian konflik tidak
berakhir pada perdamaian. Dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh sebagai
resolusi konflik gagal. Kebijakan sebagai resolusi konflik gagal karena konflik
yang terjadi di papua tidak diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga kekerasan
yang terjadi di papua masih ada. Dan apabila konflik belum diselesaikan maka
kebijakan apapun tidak akan berjalan dengan baik, karna kebijakan itu hanya
dianggap sebagai intervensi sepihak dari aktor konflik satu kepada aktor
konflik lainnya yaitu antara pemerintah dan kaum nasionalis papua.
Struktur konflik di papua yang
berbeda dengan aceh juga tidak diperhatikan oleh pemerintah. Jika di aceh
struktur konfliknya berbentuk piramida, artinya kekuatan-kekuatan konflik
memiliki orang-orang atau kelompok orang yang menduduki posisi puncak dan
penentu. Sementara di papua struktur konfliknya masih berbentuk trapesium,
sehingga yang menjadi penentu di papua tidak bermuara pada satu orang atau satu
kelompok namun dalam konflik papua ada beberapa aktor-aktor yang dengan
kepentingan sama, kekuatan sama namun terbelah dalam kelompok yang berbeda.
Untuk struktur konflik seperti ini maka seharusnya proses dialog harus
diintensifkan lebih dibandingkan dialog yang dilakukan di aceh.
Dialog Jakarta-papua hendaknya
secepatnya digagas. Dengan demikian pendekatan penyelesaian konflik dapat
terlaksana. Dengan dialog diharapkan ada titik temu antara nasionalis indonesia
dan nasionalis papua. Dengan dialog maka kekerasan dapat dihentikan dan
perdamaian antar aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dapat diciptakan.
Setelah itu barulah pendekatan resolusi konflik untuk membangun
hubungan-hubungan baru yang lebih tahan lama dapat dilaksanakan. Sehingga
kebijakan-kebijakan sebagai instrument resolusi konflik dapat berjalan dengan
baik.
Pendekatan
Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang
lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi
kekuatan sosial dan politik yang positif. Sekali lagi pendekatan transformasi
konflik dilaksanakan setelah tahapan penyelesaian konflik dan resolusi konflik
dilaksanakan. Jika tidak maka pendekatan transformasi konflik tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana halnya proses resolusi konflik yang dilaksanakan
pemerintah tanpa proses penyelesaian konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Dewi fortuna dkk. 2005. Konflik kekerasan internal ; tinjauan sejarah,
ekonomi-politik dan kebijakan di asia pasifik.
Jakarta : yayasan obor indonesia
Elisabeth,
Adriana dkk. 2004. Pemetaan peran dan kepentingan para actor dalam konflik di
papua. Jakarta : LIPI
Fisher,
Simon dkk. 2000. Mengelola konflik. Jakarta : The British Council
Ishak,
Otto syamsuddin dkk. 2012. Oase gagasan papua damai. Jakarta : Imparsial
Widjojo,
Muridan S. 2009. Papua road map. Jakarta : LIPI
[1]
Otto syamsuddin ishak dkk. Oase gagasan papua damai. (Jakarta : Imparsial,
2012)
[2]
ibid
[3]
Simon fisher, dkk. Mengelola konflik. Hal 4 (Jakarta : the british council,
2000)
[4] Ibid
[5]
ibid
[6]
Dewi fortuna anwar, dkk. Konflik kekerasan internal ; tinjauan sejarah,
ekonomi-politik dan kebijakan di asia pasifik. Hal. 82 (Jakarta : yayasan obor
indonesia, 2005)
[7]
Ibid. hal 6
[8]
Ibid hal 6
[9]
Ibid. hal 7
[10]
Ibid
[11]
Muridan S Widjojo. Papua road map. (Jakarta : LIPI, 2009)
[12]
Ibid hal 9
[13]
Ibid hal 15
[14]
Adriana Elisabeth, dkk. Pemetaan peran dan kepentingan para actor dalam konflik
di papua. (Jakarta : LIPI, 2004)
[15]
Ibid. hal 123
[16]
Ibid hal 21
[17]
Ibid hal 4
0 komentar:
Posting Komentar