Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Mewaspadai Cultural Violence : Analisis Respon Terhadap Isu Kebangkitan PKI

Gambar
Anti-komunisme telah menjadi wacana utama dalam masyarakat indonesia sejak tahun 1965 hingga   hari ini. Selama orde baru masyarakat indonesia setiap tahunnya di tanggal 30 september terbiasa menonton film “Pemberontakan G-30 S/PKI”. Film ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang terjadi pada 30 september 1965, bagaimana penculikan para jenderal, penyiksaan dan pembunuhan yang di alami korban sebelum akhirnya di buang ke dalam sumur yang sekarang kita kenal dengan Lubang Buaya. Gerakan 30 september adalah nama yang diberikan oleh kolonel untung terhadap peristiwa ini. Untung adalah orang yang memimpin pasukan penculik para jenderal pada malam 30 september itu.             Tanggal 1 oktober 1965 soeharto, komandan KOSTRAD (komando cadangan strategis angkatan darat) membuat pernyataan bahwa PKI (partai komunis indonesia) dibawah pimpinan DN. Aidit berada dibelakang operasi untung [1] . Pernyataan soeharto dan kampanye kekerasan terhadap PKI dan pengikutnya dalam waktu singkat mampu

mencubit ; dulu dan sekarang

Kejadian yang menimpa seorang guru di salah satu SMP di bantaeng cukup membuat saya miris. Bagaimana tidak, cuma gara-gara mencubit siswanya yg main siram-siraman air pel yg akhirnya air pel mengenai sang guru itu, ibu guru ini harus mendekam di penjara. Sang guru ini sekarang tengah mengalami depresi dan diabetes keringnya kambuh saat penahanan menunggu sidang saat ini. Saya jadi ingat waktu saya sekolah dulu, bagaimana guru SD saya menyiapkan rotan utk siswa2nya yang nakal. Atau guru mengaji saya menyiapkan lidi saat kami salah membaca tajwid. Atau guru SMP saya yg menampar dua orang anak yg di anggap nakal didepan semua peserta upacara. Atau saat SMA kami dijemur sambil hormat ke tiang bendera ketika panas terik gara-gara sembunyi pas upacara bendera. Uniknya saat saya mengadukan ke rumah kalau saya dihukum, orang tua saya bukannya membela apalagi melaporkan sang guru ke polisi namun justru memarahi dan menambah hukuman saya. Kadang hukuman dirumah berlipat ganda dar

minangkabau dalam teori dimensi budaya

Dalam konteks komunikasi antar budaya menurut edward T hall, ada dua dimensi budaya yakni low context culture dan high context culture. Orang-orang yang berasal dari budaya high context culture biasanya dalam berkomunikasi lebih suka menyampaikan pesan secara implisit. Selain pesan verbal, pesan-pesan non verbal juga sangat diperhatikan. nilai-nilai atau norma budaya mereka juga secara implisit terwakili oleh simbol-simbol. Sederhananya orang yg berasal dari high context cult ure akan berkomunikasi secara high context juga. Sebaliknya orang2 yang berasal dari budaya low context, lebih suka menyampaikan pesan secara eksplisit. Kadang tidak terlalu menanggapi pesan-pesan non verbal. Bagaimana dengan minangkabau? Jika kita merujuk pada teori Edward T Hall, minangkabau dapat digolongkan dalam high context culture. Hal ini dapat dilihat dalam pola komunikasi orang minang yang cenderung menyampaikan pesan secara implisit, entah itu melalui kias atau petatah petitih adatnya.