minangkabau dalam teori dimensi budaya

Dalam konteks komunikasi antar budaya menurut edward T hall, ada dua dimensi budaya yakni low context culture dan high context culture. Orang-orang yang berasal dari budaya high context culture biasanya dalam berkomunikasi lebih suka menyampaikan pesan secara implisit. Selain pesan verbal, pesan-pesan non verbal juga sangat diperhatikan. nilai-nilai atau norma budaya mereka juga secara implisit terwakili oleh simbol-simbol. Sederhananya orang yg berasal dari high context culture akan berkomunikasi secara high context juga. Sebaliknya orang2 yang berasal dari budaya low context, lebih suka menyampaikan pesan secara eksplisit. Kadang tidak terlalu menanggapi pesan-pesan non verbal.
Bagaimana dengan minangkabau?
Jika kita merujuk pada teori Edward T Hall, minangkabau dapat digolongkan dalam high context culture. Hal ini dapat dilihat dalam pola komunikasi orang minang yang cenderung menyampaikan pesan secara implisit, entah itu melalui kias atau petatah petitih adatnya. Misalnya saja perkataan, "pemimpin itu cuma ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah" kalimat tersebut memiliki makna secara implisit artinya pemimpin harusnya tidak boleh terlalu jauh dari rakyatnya. Pemimpin tidak boleh merasa sombong dg status kepemimpinannya. Toh, dia itu "ditinggikan" cuma seranting, didahulukan pun cuma selangkah. Mengutip teori hofstede, power distance antara pemimpin dan pengikut harusnya tidak boleh terlalu besar.
Jika saudara berasal dari low context culture dan pergi ke minangkabau, entah sebagai traveller, sojourner, ataupun migrant. Maka sebaiknya perhatikan sikap, tutur kata dan bahasa non verbal, karna orang minang sangat peka terhadap itu. seperti teori Gudykunst tentang anxiety and uncertainty management (AUM), hendaknya dalam komunikasi antar 2 budaya yang berbeda anxiety (kecemasam) dan uncertainty (ketidakpastian) tidak boleh melewati ambang batas minimal maupun maksimal. Jika melewati ambang batas maksimal, orang akan gugup dan lumpuh dalam berkomunikasi dengan orang asing. Namun jika kecemasan dan ketidakpastian berada di bawah ambang batas minimal, maka orang tidak akan termotivasi untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. Orang merasa sudah sangat memahami dan menguasai situasi, padahal bisa jadi yang ia fahami itu salah. Maka agar komunikasi yang efektif bisa berjalan, anxiety dan uncertainty harus di -manage sedemikian rupa hingga berada di antara ambang batas minimum dan maksimum.

Komentar