Mengulik Politik identitas, Sebuah Resensi


 

Judul buku    : Identitas ; Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian (Terjemahan)

Pengarang    : Francis Fukuyama

Penerbit        : Bentang Pustaka

Tahun terbit : 2020

Jumlah halaman : 264 halaman

 

Fukuyama dalam buku ini memulai pembahasan mengenai identitas melalui pengenalan terhadap thymos. Dimana ia mendefinisikan thymos sebagai bagian dari jiwa yang membutuhkan pengakuan atau martabat. Thymos sendiri memiliki 2 varian; isothymia (tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain) dan megalothymia (keinginan untuk diakui sebagai golongan yang lebih unggul). Dua keinginan yang terkesan berlawanan ini menurut Fukuyama dapat saja berjalan seiring, misalnya saja saat seorang tokoh politik yang ingin tampil di barisan terdepan (megalothymia) menggerakkan pengikutnya berdasarkan kebencian dan perasaan tidak dihargai dari kelompok tersebut (isothymia). 

Diskursus mengenai politik pengakuan dan martabat terus berkembang, hingga pada awal abad 19 ia sampai dipersimpangan antara pengakuan universal atas hak-hak individu dan cabang lainnya mengarah pada peryataan identitas kolektif yang dimanifestasikan dalam bentuk nasionalisme dan agama yang dipolitisasi. Dalam hal agama yang dipolitisasi, Fukuyama juga me-mention Islamisme di awal abad 20 sebagai tuntutan atas pengakuan status khusus untuk Islam sebagai dasar komunitas politik. Ia melihat fenomena Nasionalisme maupun Islamisme muncul sebagai bentuk ekspresi identitas kelompok yang merespon modernisasi dan perubahan sosial serba cepat yang merusak bentuk-bentuk komunitas yang lebih tua. 

Dalam buku ini Fukuyama juga menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari politik identitas, sebab ia merupakan respon alami dan tak terhindarkan dari ketidak-adilan yang terjadi. Namun ia berubah menjadi masalah saat identitas ditafsirkan atau ditegaskan dengan cara tertentu. Terlebih jika persoalan identitas ini berkembang menjadi konflik laten di tengah masyarakat yang bisa meledak kapan saja. Solusi dari semakin menguatnya politik identitas ini menurut Fukuyama bukanlah meninggalkan gagasan identitas, namun mendefinisikan sebuah identitas nasional yang lebih besar dan lebih integratif serta memperhitungkan keragaman yang ada. 

Identitas nasional sendiri dibentuk dengan kepercayaan yang sama terhadap keabsahan sistem politik negara, entah sistem itu demokratis ataupun tidak. Keberadaan identitas nasional disini setidaknya memiliki 5 fungsi utama. Pertama, soal keamanan fisik, dimana identitas nasional yang lemah menciptakan masalah keamanan serius lainnya. Kedua, identitas nasional penting juga untuk kualitas pemerintahan. Dimana pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik yang efektif dan tingkat korupsi rendah sangatlah bergantung pada pejabat publik yang menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan sempit mereka sendiri. Ketiga, keberadaan identitas nasional juga memfasilitasi pembangunan. Sebab jika tidak ada kebanggaan. Orang-orang tidak akan bekerja atas nama negaranya. Keempat, identitas nasional adalah untuk mempromosikan tingkat kepercayaan yang luas. Kepercayaan itu sendiri didasarkan pada modal sosial, yaitu kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain berdasarkan norma informal dan nilai bersama. Terakhir, identitas nasional menjadi penting untuk mempertahankan jaring pengaman sosial yang kuat guna mengurangi kesenjangan ekonomi. 

Di bagian akhir buku ini, Fukuyama menyinggung bagaimana fragmentasi masyarakat oleh politik identitas tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi, khususnya media sosial. Keberadaan media sosial telah berhasil mempercepat fragmentasi masyarakat sebab ia menghubungkan orang-orang yang berfikiran sama dengan yang tanpa perlu mengkhawatirkan tirani geografi. Ia menutup bukunya dengan pernyataan bahwa identitas dapat digunakan untuk memecah, tetapi dapat dan telah digunakan untuk berintegrasi. 

Buku ini mengangkat dan menganalisis isu kontemporer mengenai masalah politik identitas dengan penjelasan yang gamblang dan runut. Bahasa yang digunakan pun cenderung lebih lugas dan mudah dipahami, sehingga tidak terlalu berat untuk dibaca oleh kebanyakan orang. Barangkali disitulah kekuatan buku ini, Ia mampu men-deliver ide yang cukup serius dengan bahasa yang tidak terlalu kaku dan rumit. Namun buku ini bagi saya terkesan sedikit kurang balance karna Fukuyama hanya me-mention Islamisme dalam konteks agama yang dipolitisasi tapi kurang mengeksplorasi bagaimana perkembangan identitas di agama lain semisal Yahudi, Kristen, Budha, ataupun Hindu. 

Terlepas dari semua itu, buku ini layak dibaca bagi orang-orang yang memiliki ketertarikan di bidang sosial-politik terutama bagi mereka yang ingin memahami fenomena politik identitas yang selalu menghangat menjelang pesta demokrasi, entah itu di tingkatan lokal maupun nasional. 

Komentar