Menelisik Rohingya


Beberapa hari terakhir pemberitaan terkait kekerasan yang terjadi di Rakhine terhadap etnis Rohingya bersiliweran di berbagai media. Berbagai bentuk respon juga marak di timeline sosial media kita. Mulai dari respon keprihatinan, respon kutukan terhadap orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kekerasan, hingga respon berbentuk caci maki terhadap suatu agama. Namun pada dasarnya peristiwa yang menimpa etnis rohingnya memanglah sangat mengusik kemanusiaan manusia. 

Kekerasan yang menimpa etnis Rohingya bukanlah yang pertama kali terjadi. Tahun 2015 lalu Indonesia bahkan sampai menampung 996 orang pengungsi etnis Rohingya yang terdistribusi di Aceh dan Medan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa sebenarnya etnis Rohingya dan apa kesalahan mereka sehingga diperlakukan demikian. Jawaban yang umum muncul adalah Rohingya merupakan muslim minoritas yang menempati daerah Rakhine, Myanmar dan mereka diburu sebab mereka muslim dan kafir membenci muslim. 

Sejarah mencatat bahwa Burma (Myanmar) pernah dijajah oleh Inggris, sebelum akhirnya dikuasai oleh jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini, masyarakat Budha banyak yang menempati posisi strategis di pemerintahan. Pada tahun 1948 Inggris dengan bantuan pejuang Burma dan Rohingya membebaskan Burma dari cengkeraman Jepang. Sampai akhirnya Burma berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada 1948. Namun disisi lain, Rohingya merasa dikhianati karena Inggris tak memberikan otonomi ke Arakan sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya. 

Di awal kemerdekaan Burma, penduduk Rohingya sempat menikmati status kewarganegaraan sebagai penduduk Burma. Namun terdapat kepercayaan di antara masyarakat Burma bahwa Rohingya bukanlah penduduk asli, melainkan penduduk Bangladesh yang menjadi imigran ilegal di Burma. Ketegangan mulai marak ketika pemerintah Burma menetapkan Burma sebagai negara Budha pada tahun 1962. Berbagai protes dan pemberontakan etnis terjadi, termasuk yang berasal dari Rohingya yang mayoritas muslim. 

Di masa pemerintahan Ne Win, Negara secara sistematis menghapus kewarganegaraan Rohingya. Upaya tersebut dapat terlihat dari pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 sampai akhirnya UU Kewarganegaraan 1982 yang menghapus kewarganegaraan Rohingya dengan mengganti kartu registrasi nasional menjadi kartu registrasi sementara yang dikenal sebagai kartu putih. Namun kartu putih sebagai tanda terakhir status kewarganegaraan mereka pun sudah dinyatakan tidak berlaku per 31 Maret 2015. 

Akar Masalah 

Kebencian terhadap Rohingya tampaknya berawal dari dukungan Rohingya terhadap Inggris yang mengancam posisi strategis sebagian kaum elit Burma yang mayoritas Budha di zaman penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan Burma pun, Rohingya pernah menuntut berdirinya mereka sebagai Negara otonom sendiri. Apalagi Rohingya juga menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah Burma yang menetapkan Burma sebagai Negara Budha. Tentu saja di mata pemerintahan Burma (sekarang Myanmar), aktivitas muslim Rohingya dianggap sebagai bibit tindakan pemberontakan. 

Sementara disisi lain, isu bahwa rohingya merupakan imigran gelap asal Bangladesh yang dimobilisasi pada masa penjajahan Inggris juga membuat penerimaan masyarakat terhadap etnis Rohingya rendah. Etnis Rohingya dianggap sebagai saingan tambahan yang semakin menyulitkan perekonomian masyarakat Rakhine yang notabene miskin, walaupun mereka memiliki sumber daya yang melimpah. Padahal jika kita melihat dari perspektif masyarakat Rohingya, keberadaan mereka di bekas kerajaan Arakan yang sekarang dikenal sebagai Rakhine sudah turun temurun sejak abad ke tujuh. Tuntutan terkait Negara otonom pun merupakan bentuk tuntutan terhadap pemenuhan janji kolonial Inggris terhadap mereka. Begitu juga sikap protes yang dilontarkan saat Burma ditetapkan sebagai Negara Budha. Kebijakan ini tentunya merugikan masyarakat Rohingya yang mayoritas muslim. 

Diskriminasi yang mereka terima selama puluhan tahun dari aspek pendidikan, agama dan perekonomian juga membuat masyarakat Rohingya cenderung memiliki SDM yang rendah sehingga sulit untuk bangkit dalam hal mensejahterakan dirinya ataupun menyuarakan hak-hak politiknya. Apalagi sejak kartu putih mereka ditarik, otomatis Rohingya menjadi stateless dan tidak bisa mengakses hak nya lagi sebagai warga Negara. Ketiadaan status kewarganegaraan ini yang pada akhirnya melengkapi penderitaan Rohingya yang selama puluhan tahun mengalami diskriminasi dan kekerasan dari pemerintah dan masyarakat Myanmar yang mayoritas beragama Budha. 

Selain itu isu mengenai keberadaan minyak dan gas yang digembar-gemborkan merupakan penyebab utama konflik di Rakhine pada akhirnya juga terbantahkan oleh peryataan duta besar Indonesia untuk Myanmar yang dimuat Jawa Pos 3 September 2017. Dalam pernyataannya beliau menyatakan bahwa di Rakhine belum ada eksplorasi yang mengatakan daerah tersebut memiliki minyak. 

Melanjutkan Kehidupan 

Kompleksnya permasalahan yang terjadi di Rakhine membuat keberlangsungan hidup masyarakat Rohingya semakin terancam. Berbagai tindak diskriminasi hingga kekerasan yang mereka peroleh tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab tragedi Rohingya adalah tragedi kemanusiaan yang harus menjadi perhatian bersama dari masyarakat global. Apapun alasannya,tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa dibenarkan. 

Berbagai kecaman yang dilontarkan terhadap Negara Myanmar tampaknya belum membuat pemerintah Myanmar bergeming untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap etnis Rohingya. Masyarakat Rohingya yang mengungsi ke berbagai belahan dunia pun tidak dapat dibiarkan selamanya berstatus sebagai pengungsi. Masyarakat Rohingya mesti diberi ruang untuk melanjutkan kehidupannya secara layak, sama seperti masyarakat dunia di belahan bumi lainnya. 

Penulis fikir, nasib masyarakat rohingya akan tetap begitu saja selama mereka tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas. Untuk itu PBB mesti turun tangan dalam menegaskan status kewarganegaraan masyarakat Rohingya. Sebab dengan status kewarganegaraan mereka bisa mengakses hak-hak hidup mereka di Negara tempat mereka tinggal. Sementara untuk bantuan dari Negara lain, penulis fikir kecaman saja tidak cukup. Masyarakat Rohingya membutuhkan pengakuan agar mereka bisa hidup layak. 

Menampung pengungsi Rohingya selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun pun bukanlah sebuah solusi. Sebab di pengungsian masyarakat Rohingya hanya tetap sebagai pengungsi, tidak produktif dan terus menggantungkan hidup dari bantuan Negara atau masyarakat sekitar. Oleh karenanya, menurut hemat penulis mesti ada langkah kongkrit dari Negara yang ingin membantu berupa upaya adopsi masyarakat Rohingya menjadi warga negaranya sendiri. Dengan demikian masyarakat Rohingya dapat hidup sebagaimana warga negara dunia lainnya dan terbebas dari ancaman diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat Myanmar.

Komentar