Sertifikasi penceramah, perlukah?

Di awal tahun lalu wacana mengenai sertifikasi penceramah pernah digaungkan oleh kemenag. Namun muncul penolakan dan cacian dari beberapa kelompok. Memang waktunya kurang tepat, sebab masih dalam momen pilkada dan masyarakat masih sensitif dengan upaya-upaya yang dianggap menyinggung agama. 

Tapi mari kita coba fikirkan lagi wacana tersebut hari ini. Coba kita cermati fenomena penceramah yang ada hari ini dan mari kita jawab dengan jujur, ada berapa banyak yang tiba-tiba jadi penceramah instan. Sekolah tidak jelas dimana, mondok tidak jelas dimana, tiba-tiba sudah mengaku ustadz. Orang-orang sejenis itu juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab masyarakat kita juga terkadang latah. Ada yang tampilannya sedikit menarik, sedikit-sedikit teriak takbir dan sedikit-sedikit mengkafirkan orang, itu sudah ramai-ramai dipanggil ustadz. 

Lucunya adalah, untuk pendidikan dunia kita begitu selektif mencari guru. Untuk guru pendidikan dasar dan menengah minimal harus sarjana, untuk menjadi dosen di perguruan tinggi minimal seseorang harus bergelar magister atau doktor. Bahkan untuk menjadi pelatih musik, tari dan sebagainya kita pasti mencari yang memiliki sertifikasi. Namun disisi lain, kita kadang abai dengan kualitas dan kapasitas penceramah yang notabene menjadi guru kita dalam menjalankan kehidupan di dunia dan akhirat. 

Bayangkan jika ada orang tidak jelas SD nya dimana dan cuma hafal 2x2 sama dengan 4. Tapi dengan modal kemeja, tampilan keren dan sedikit aksen kacamata mengajarkan kita soal integral lipat lima. Tentunya akan menyesatkan bukan? Pun begitu juga penceramah, apa kita mau berguru untuk urusan dunia dan akhirat pada orang yang tidak jelas keilmuannya dari mana. Bukan cuma dia yang ngawur, kita sebagai jama'ah juga akan ikut ngawur nantinya. 

Sejarah mencatat, di Indonesia kita pernah punya ulama besar yang keilmuannya diakui dunia seperti buya hamka. Uniknya buya hamka bukan orang yang sedikit-sedikit mengkafirkan orang. Beliau terkenal dengan kebijaksanaannya dan juga kepiawaiannya dalam meramu kalimat sastra. Dalam sastra beliau mengkritisi masyarakat dan menyelipkan berbagai muatan dakwah. Begitu juga dengan ulama besar di belahan Indonesia lainnya. Kedalaman ilmu mereka melahirkan fatwa-fatwa dan isi ceramah yang bijaksana. 

Dalam hal ini media juga memegang peranan penting. Ustadz atau penceramah yang dipromosikan hendaknya adalah ustadz atau penceramah yang keilmuannya jelas. Apalagi media berpengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Jika media berkomitmen untuk itu, tentunya ceramah menyesatkan seperti pesta seks di surga tidak akan terulang lagi. 

Kedepan mesti ada standarisasi orang-orang yang akan menjadi penceramah. Misalnya saja dia harus sudah belajar ilmu agama dalam kurun waktu yang ditetapkan dengan hasil belajar baik dan juga lulus fit and proper test yang disusun oleh majelis ulama Indonesia. Dengan demikian kita tidak perlu was-was lagi terhadap isi ceramah. 

 Jakarta, 8 Desember 2017

Komentar