Setelah Pemilu Usai


Ini sudah 18 April 2019, sehari setelah perhelatan akbar demokrasi di negara ini digelar. Setelah melalui proses nan panjang dengan beragam dinamika politik, saya fikir kemarin adalah batas dimana keributan berhenti. Batas dimana cebong dan kampret berdamai dan saling support untuk kemajuan bangsa. 
Saya beruntung pernah dibimbing untuk lebih memahami persoalan ketahanan nasional, dipertemukan dengan beragam orang, mengunjungi berbagai tempat, serta mendapatkan akses informasi yang cukup. Hal itu membuat saya menyadari betapa menjaga ke-bhinnekatunggal-ikaan itu amatlah penting. 
Kita beruntung punya beragam suku, beragam bahasa, budaya, agama, dan beragam golongan yang masih tetap komit berada dibawah kepak sayap Garuda. Bayangkan saja dinegara lain, masih satu suku dan satu agama saja mereka bisa perang saudara. Apalagi kita yang notabene amat beragam, tentunya punya tantangan lebih besar untuk menjaga negara ini tetap utuh dalam bingkai ke-Indonesiaan. 
Namun belakangan, proses-proses politik menggiring kita untuk tidak lagi mengedepankan identitas ke-Indonesiaan. Justru yang dikedepankan adalah identitas kesukuan, keagamaan atau golongan tertentu. Orang dengan mudahnya di cap A, B, C, D, sampai X hanya karena beda pilihan politik. Sedihnya lagi adalah muncul persekusi bahkan seruan-seruan menghalalkan darah bagi yang berbeda pilihan politik. Ini kan lucu, proses demokrasi yang seharusnya menjadi proses yang membahagiakan bagi seluruh kalangan, menjadi proses dimana sebagian orang menjadi takut menunjukkan aspirasi politiknya. Walaupun sebagiannya tetap PD untuk saling debat di sosmed. 
Disisi lain, banyak hoax dan berita menyesatkan bersileweran jelang pemilu. Targetannya tentu membakar emosi, sebab kalau emosi sudah naik, otak akan sulit berfikir jernih dan rasional. Efeknya, banyak hubungan pertemanan yang rusak. Padahal mereka membangun pertemanan bertahun-tahun, rusak hanya gegara beda dukungan politik, ini kan lucu lagi. Padahal kalau mau ngutang, pasti nyarinya teman, bukan capres.. Hehehe
Dalam hal ini tentunya, peran elit politik sangatlah krusial. Apakah elit politik mulai menggiring kepada proses mencairkan kembali ketegangan politik, atau menggiring masuk lebih jauh menuju kegaduhan politik. Disana kita bisa lihat, mana negarawan sejati dan mana politisi karbitan. 
Terlepas dari semua itu, saat pesta demokrasi usai, marilah kita kembali menghapus sekat perbedaan. Menyatukan kembali energi dalam bingkai ke-Indonesiaan. Menjahit kembali tenun kebangsaan yang sempat terurai. Dan kembalilah bertegur sapa dengan panggilan yang baik. Karna kata guru agama saya waktu SD, kita tidak boleh memanggil orang dengan panggilan yang buruk. Karena dalam nama seringkali banyak doa-doa baik yang diselipkan. 
Jakarta, 18 April 2019
Isma Saparni
Tukang lap meja..

Komentar