Terorisme dan Reformasi Internal Polri

Era globalisasi yang terus menggelinding membuat batas-batas antar Negara semakin kabur. Terlebih saat revolusi 4.0 didengungkan, dimana teknologi menjadi salah satu penyokong utama dalam menjalankan roda kehidupan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk keamanan dan pertahanan berbanding lurus dengan ancaman penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi itu sendiri. Sehingga pertahanan dan keamanan siber menjadi salah satu isu prioritas yang menjadi perbincangan hangat di semua negara.
Salah satu ancaman penyalahgunaan teknologi informasi adalah penyebarluasan hoax, ujaran kebencian. Penyebaran hoax dan ujaran kebencian di dunia maya mengancam lunturnya kohesi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Kohesi sosial menurut MacCoun mengacu pada sifat dan kualitas ikatan emosional persahabatan, keinginan, perhatian, dan kedekatan antara anggota kelompok.[1] Kohesi sosial dipengaruhi oleh beragam faktor, diantaranya adalah suku bangsa, bahasa, afiliasi politik, agama, dan kondisi tingkat pendapatan serta disparitasnya.[2] Perbedaan yang meruncing, dan kebencian yang tertanam terhadap kelompok tertentu memicu munculnya tindakan teror di tengah masyarakat.
Persoalan lain dari penyalahgunaan teknologi informasi adalah berkembangnya pola penyebaran paham berbau radikalisme dan terorisme. Dengan semakin canggihnya teknologi informasi, penyebaran paham radikalisme dan terorisme semakin mudah. Orang tidak lagi harus berkumpul di suatu tempat untuk bertukar informasi. Sebab ajaran berbau radikalisme dan terorisme bisa diakses dimana saja dan kapan saja oleh masyarakat. Hal ini tentu saja sedikit mengkhawatirkan, dimana kita ketahui bahwa anak muda atau generasi milenial merupakan kaum yang paling besar terpapar internet serta merupakan sasaran utama penyebaran paham tersebut. Penyebaran paham dan konsolidasi terroris bahkan tidak hanya terjadi di platform media sosial, namun juga di dark web yang jarang dijangkau.
Berkembangnya pola penyebaran paham radikalisme dan terorisme menuntut semakin kuatnya peran Polri dalam pencegahan dan penanganannya. Sistem deteksi dini terhadap hoax dan ujaran kebencian yang menjadi cikal bakal radikalisme mesti terus disempurnakan. Oleh karenanya dibutuhkan teknologi yang tetap upgrade untuk mendeteksi, serta skill anggota Polri yang mumpuni terhadap penguasaan teknologi dan informasi. Namun sayangnya Polri saat ini dinilai belum bisa keluar dari jebakan belanja gaji bagi anggotanya yang cukup besar (mencapai 70-an persen) dan menekan komponen belanja modal dan belanja barang[3]. Hal ini tentunya berimplikasi pada terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk melakukan deteksi aktivitas penyebaran hoax, ujaran kebencian, serta penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Kondisi ini tergambar dari keberadaan laboratorium forensik yang hanya dimiliki Polda di kota-kota besar seperti Medan, Palembang, Surabaya, Semarang, Makassar, Denpasar dan Jakarta.
Disisi lain, persoalan skill personel Polri dalam penguasaan teknologi informasi juga menjadi hal yang krusial untuk diperhatikan. Pola rekrutmen Polri yang belum menjadikan kemampuan penguasaan teknologi informasi sebagai standar baku perlu di evaluasi ulang. Hal ini mengingat pola kejahatan terutama penyebaran terorisme yang semakin kompleks sebagai konsekuensi logis dari teknologi yang semakin canggih. Selain itu upaya peningkatan kapasitas anggota Polri melalui berbagai pelatihan dan diklat terkait teknologi informasi juga perlu terus dikembangkan. Dengan semakin tersedianya sarana prasarana yang memadai dan kemampuan anggota Polri yang mumpuni diharapkan pencegahan dan penanganan terorisme bisa lebih tepat sasaran.


[1] Makmur Supriyatno, Tentang Ilmu Pertahananan, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), Hal. 408
[2] Nurulloh (ed), Presiden Jokowi Harapan Baru Indonesia, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2014), Hal. 211
[3] Metrotvnews.com, 5 Juni 2018, http://news.metrotvnews.com/hukum/Wb7JXorN-anggaran-2019-polri-dipangkas-rp18-1-triliun, diunduh pada 23 September 2018, pukul 20.01

Komentar