Mewaspadai Cultural Violence : Analisis Respon Terhadap Isu Kebangkitan PKI

Anti-komunisme telah menjadi wacana utama dalam masyarakat indonesia sejak tahun 1965 hingga  hari ini. Selama orde baru masyarakat indonesia setiap tahunnya di tanggal 30 september terbiasa menonton film “Pemberontakan G-30 S/PKI”. Film ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang terjadi pada 30 september 1965, bagaimana penculikan para jenderal, penyiksaan dan pembunuhan yang di alami korban sebelum akhirnya di buang ke dalam sumur yang sekarang kita kenal dengan Lubang Buaya. Gerakan 30 september adalah nama yang diberikan oleh kolonel untung terhadap peristiwa ini. Untung adalah orang yang memimpin pasukan penculik para jenderal pada malam 30 september itu.
            Tanggal 1 oktober 1965 soeharto, komandan KOSTRAD (komando cadangan strategis angkatan darat) membuat pernyataan bahwa PKI (partai komunis indonesia) dibawah pimpinan DN. Aidit berada dibelakang operasi untung[1]. Pernyataan soeharto dan kampanye kekerasan terhadap PKI dan pengikutnya dalam waktu singkat mampu mengakibatkan jutaan orang dibunuh, hilang dan ditahan. Terlebih masih kuat ingatan masyarakat akan kekejaman pemberontakan PKI di madiun sebelumnya yang menewaskan banyak ulama dan kyai yang mereka anggap sebagai setan-setan desa.
            Simposium nasional dengang tema “Membedah tragedi 1965 ; pendekatan kesejarahan” yang dilaksanakan pemerintah pada tanggal 18-19 april 2016 membuka babak baru mengenai peristiwa 30 september 1965. Simposium ini dilaksanakan oleh kepanitiaan yang diwakili Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo, Ketua Komnas HAM Nurkholis, Psikolog Nani Nurrachman dan Suryo Susilo sebagai ketua panitia. Simposium ini dihadiri  oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan yakni akademis, penggiat, dan tokoh hak asasi manusia, korban pelanggaran HAM berat dan organisasi korban, wakil partai politik, organisasi masyarakat warga yang berkecimpung dalam advokasi HAM dan pendamping korban, organisasi masyarakat termasuk organisasi keagamaan, wakil dari lembaga - lembaga pemerintah[2].
            Babak baru pasca symposium 1965 yang dilaksanakan di hotel Aryaduta adalah munculnya kembali fenomena cultural violence terhadap segala sesuatu yang dianggap berhubungan dengan PKI. Cultural violence adalah salah satu dari tiga bentuk kekerasan yang dikemukakan Johan Galtung. Sebelumnya pembagian kekerasan hanya dilihat dari perspektif penerima, sehingga jenis kekerasan dibagi hanya pada ranah kekerasan langsung (direct violence) dan kekerasan structural (structural violence) sebagaimana yang dikemukakan johan galtung,
So far we have looked at violence from the perspective of the receiver. If there is a sender, an actor who intends these consequences of violence, then we may talk about direct violence; if not, about indirect or structural violence.5 Misery is one form of suffering, hence there is violence somewhere. The position taken  here is that indirect violence = structural violence. Indirect violence comes from the social structure itself – between humans, between sets of humans (societies), between sets of societies (alliances, regions) in the world. And inside human beings there is the indirect, non-intended, inner violence that comes out of the personality structure.[3]

            Kekerasan budaya (cultural violence) merupakan bentuk kekerasan ketiga yang dikemukakan Galtung. Galtung berargumen bahwa legitimasi atas kekerasan langsung (direct violence) dan tak langsung (structural violence), yang biasanya dilakukan melalui produk-produk kebudayaan, juga merupakan kekerasan. Galtung mengemukakan “By 'cultural violence' we mean those aspects of culture, the symbolic sphere of our exist- ence - exemplified by religion and ideology, language and art, empirical science and formal science (logic, mathematics) - that can be used to justify or legitimize direct or structural violence[4]. Kekerasan budaya membuat orang merasa bahwa kekerasan fisik atau kekerasan structural yang dilakukan terhadap kelompok lain adalah benar dan harus dilakukan. Sebagaimana dikemukakan Galtung, “Cultural violence makes direct and structural violence look, even feel, right - or at least not wrong[5]
Bagaimana fenomena cultural violence terhadap isu PKI berpotensi muncul lagi?
            Prasangka yang muncul oleh masyarakat terhadap PKI kembali menguat pasca symposium 1965. Prasangka yang muncul pasca symposium 1965 adalah prasangka bahwa ada upaya membangkitkan kembali PKI di Indonesia, dan melakukan kekejaman seperti yang terjadi sebelum peristiwa 1965. Hal ini didasarkan pada stereotype negative masyarakat terhadap PKI sudah sangat mengakar selama masa orde baru. Dalam pengertian yang luas, prasangka merupakan perasaan negative terhadap kelompok tertentu[6]. Perasaan negative ini kadang meliputi kemarahan, ketakutan, kebencian, dan kecemasan. Pengertian yang lengkap mengenai prasangka dikemukakan oleh Macionis sebagai berikut “Prasangka merupakan generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang. Prasangka menyakitkan dalam arti bahwa orang memiliki sikap yang tidak fleksibel yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti sama sekali”[7]
            Labeling negative terhadap PKI yang sudah ada membuat prasangka dan stereotip masyarakat berkembang lebih cepat menjadi kekerasan budaya. Diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan pada anggota PKI atau orang-orang yang terduga PKI serta keluarganya selama orde baru yang mendorong diadakan symposium pelurusan sejarah 1965. Namun tentu saja akibat sudah adanya labeling, prasangka dan stereotip yang mengakar hal ini dicurigai macam-macam. Wacana permohonan maaf terhadap korban tragedy 1965 kontan mendapat reaksi keras dari masyarakat, tak terkecuali dari kalangan militer senior seperti Kivlan Zen.
Orang yang sudah memiliki stereotip negatf terhadap kelompok lain tentunya akan sulit untuk berkomunikasi secara lebih efektif. Dalam hal ini kita dapat merujuk pada teori Gudykunts mengenai Communication Accommodation Theory (CAT). Teori ini menjelaskan kenapa masyarakat bisa mengakomodasi atau tidak mengakomodasi pesan verbal maupun non-verbal saat awal pertemuan. Sikap mengakomodasi sering digunakan untuk “menyamakan” diri dengan orang lain. Hal ini dilakukan untuk membuat rasa nyaman serta memudahkan pemahaman mengenai budaya lainnya. Komunikasi non-akomodasi lebih sering digunakan untuk menekankan kekhasan dan mengingatkan orang lain agar menghindari salah pengertian. Akomodasi dan non-akomodasi, membuat kita “bernegosiasi” dengan identitas kita serta membuat pertemuan awal dengan kelompok lain menjadi lebih bermakna.
Pada proses mengakomodasi atau tidak mengakomodasi komunikasi ini,  konteks sosial dan interaksi sejarah di masa lalu serta status sosial sangat berpengaruh. Neuliep juga mengemukakan bahwa, “the initial orientation that we might have toward someone else is based on the sociohistorical context and prior interpersonal interaction with that individual”[8]. Orang cenderung menggunakan komunikasi akomodasi jika kelompoknya mempunyai interaksi yang positif di masa lalu dengan kelompok lain. Namun jika kita hanya mempunyai interaksi positif dengan beberapa anggotanya, maka kita akan melakukan hal yang sama (tetapi tidak dengan kelompoknya). Orang cenderung menggunakan non-akomodasi komunikasi jika sebelumnya mempunyai interaksi yang negative dengan kelompok lain. Hal ini dapat kita lihat pada kasus isu kebangkitan PKI pasca symposium 1965. Orang-orang menjadi kurang melakukan akomodasi komunikasi terhadap orang yang dianggap berhubungan dengan PKI dikarenakan masyarakat Indonesia memiliki sejarah masa lalu yang tidak baik dengan PKI.
            Reaksi keras terhadap isu kebangkitan PKI pasca symposium 1965 dapat dilihat dari beragam bentuk. Mulai dari hate speech, pemberitaan negative,  hingga penangkapan seorang mahasiswa yang memiliki kaos bertuliskan PKI (Pecinta Kopi Indonesia)[9]. Ideology anti-komunisme dipakai untuk melegitimasi kekerasan yang ditujukan kepada orang-orang yang dianggap berhubungan atau mendukung PKI. Sweeping terhadap segala sesuatu yang berbau PKI dilakukan. Bahkan kekerasan meluas terhadap segala sesuatu yang berbau paham kiri. buku-buku kiri di beberapa tempat di razia, bahkan kepala perpustakaan nasional pun sempat mengeluarkan pernyataan yang mendukung pemusnahan buku-buku kiri walaupun akhirnya beliau meralat pernyataannya setelah di tegur pihak “Istana” yang menyatakan bahwa kepala perpusnas terlalu berlebihan. Menariknya, keberadaan patung tugu tani pun saat ini juga dipermasalahkan dan dianggap lambang kejayaan PKI oleh sekretaris jendral forum umat islam (FUI)[10].
Munculnya reaksi keras terhadap isu kebangkitan PKI tidak bisa dilepaskan dari dimensi budaya masyarakat indonesia yang cenderung kolektivis. Nilai yang digambarkan dari budaya kolektivis adalah perhatian mereka terhadap hubungan[11].  Hubungan-hubungan ini membentuk kerangka sosial yang kaku yang membedakan kelompok dalam dan kelompok luar. Orang-orang bergantung pada kelompok dalam mereka (misal kerabat, klan, suku, dan organisasi) untuk merawat mereka dan sebagai gantinya mereka setia terhadap kelompok tersebut. Budaya kolektifis dalam masyarakat indonesia secara tidak langsung mempengaruhi masyarakat indonesia yang pada dasarnya sudah memiliki stereotype dan prasangka yang buruk terhadap PKI serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Instruksi kepada anggota TNI dan POLRI agar melakukan sweeping terhadap PKI semakin menguatkan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan PKI. Pemberitaan dan pembangunan wacana public oleh media juga turut membentuk keyakinan masyarakat bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan atau mendukung PKI adalah hal yang wajar. Pada titik dimana kekerasan sudah dianggap wajar karna legitimasi produk-produk budaya inilah terjadi kekerasan budaya (cultural violence).
Terlepas dari pro dan kontra yang yang masih berlangsung, permasalahan PKI dan isu kebangkitannya perlu untuk segera diselesaikan. Tentunya  diharapkan penyelesaian yang dihasilkan merupakan hasil kajian yang objektif. Dimana setiap stereotip dan prasangka yang muncul hendaknya dicari kebenarannya dengan mengakomodasi komunikasi dari kedua belah pihak. Karna jika dibiarkan berlarut-larut tentunya ini akan menjadi keresahan baru dimasyarakat. Mengingat sudah adanya beberapa tindakan penangkapan orang karna berkaos pencinta kopi, sweeping buku dan atribut yang dianggap berbau PKI.
                       



[1] Wijaya Herlambang. Kekerasan budaya pasca 1965; bagaimana orde baru melegitimasi anti-komunisme melalui seni dan sastra. Hal 2. (Tanggerang selatan ; margin kiri, 2015)
[2] http://www.suara.com/news/2016/04/13/183319/usut-tragedi-1965-pemerintah-buat-simposium-nasional
[3] Johan Galtung. Peace By Peaceful Man; peace and conflict, development and civilization. Hal . 2. (SAGE publication Ltd : London, 1996)
[4] Ibid hal 196
[5] Journal of Peace Research, Vol. 27, No. 3 (Aug., 1990), pp. 291-305
[6] Larry A samovar, dkk. Komunikasi lintas budaya. Hal 207.(Jakarta : salemba humanika, 2010)
[7] Ibid. hal 207
[8] Neulip. Explaining initial intercultural interaction ; communication strategy perspectives. Hal 138. 2009
[9] http://www.rappler.com/indonesia/132653-adlun-fiqri-ditangkap-karena-kasus-memakai-kaus-palu-arit
[10] http://news.babe.co.id/6836430
[11] Ibid hal 238

Komentar

  1. Live Casino Site
    In the world of gambling, there are hundreds of luckyclub live casino games you can play, from the best slots to the biggest video slots. With live dealer games, Welcome to Lucky Club Live!What is Live Dealer?How do I play live dealer games on Live Casino?

    BalasHapus

Posting Komentar