Uang Jemputan Dan Uang Hilang Dalam Adat Pariaman


Setiap kali saya memperkenalkan diri sebagai orang pariaman, orang-orang biasanya langsung mengatakan "owh yang laki-lakinya dibeli itu ya?”. Kadang saya mau ketawa, kadang juga miris mendengar persepsi negatif terhadap adat di negeri kami.
Kebetulan dulu pada tahun 2010 saya pernah menulis paper singkat mengenai budaya "Uang jemputan dan uang hilang" tersebut. Mungkin saja pemahaman yang saya dapat dari literatur yang saya baca serta wawancara terhadap tokoh adat dulu bisa sedikit mencerahkan.

Pertama, ada perbedaan mendasar antara uang hilang dan uang jemputan walaupun di akhir-akhir ini sering dipersepsikan sama.

Tidak diketahui pasti kapan tradisi uang jemputan ini hadir. Uang jemputan adalah bentuk penghargaan terhadap laki-laki pariaman dan juga bentuk "kompensasi" secara halus kepada keluarga laki-laki. Uang jemputan adalah bentuk kebanggaan dan simbol harapan yang besar dari keluarga perempuan terhadap calon menantunya. Karena seperti diketahui bersama, dalam adat Minang setelah menikah laki-laki tinggal di lingkungan keluarga istrinya, bukan sebaliknya.

Dulu, besar kecil uang jemputan didasarkan pada gelar (gala) yang dimiliki oleh laki-laki Pariaman. Semisal apakah ia keturunan Bagindo, Sidi, Sutan, ataupun Marah (catatan : Marah disini adalah gelar). Seiring perkembangan zaman, besar uang jemputan masa sekarang cenderung didasarkan pada pendidikan dan pekerjaan si laki-laki.

Lalu, rugi dong perempuan?
Perlu dipahami bahwa, prosesi pernikahan di Pariaman itu tidak berhenti pada proses resepsi. Setelah resepsi masih ada prosesi "Manjalang". Prosesi Manjalang adalah acara silaturahim mempelai perempuan ke rumah kaum kerabatnya pihak laki-laki. Di beberapa tempat, Manjalang ini kadang dilakukan dua kali. Hal ini bertujuan agar si perempuan menjadi lebih dekat dengan keluarga besar si laki-laki. Dalam prosesi Manjalang itu, biasanya buah tangan si perempuan akan dikembalikan dan diisi kembali oleh pihak keluarga laki-laki dengan emas, uang, pakaian, dan sebagainya. Terkadang jumlah yang diterima perempuang malah lebih besar dari uang jemputan itu sendiri (walau jarang, hehehe)

Bagaimana pula dengan uang hilang?
Dalam buku "Adat Perkawinan di Minangkabau" dijelaskan bahwa uang hilang baru hadir di Pariamam pada tahun 1985. Uang hilang ini adalah bentuk bantuan dari pihak perempuan ke pihak laki-laki untuk mengadakan Alek (resepsi) di rumah mempelai laki-laki. Biasanya uang hilang ini jumlahnya jauh lebih kecil daripada uang jemputan. Tentu saja uang ini juga sesuai namanya, tidak ada bentuk pengembalian ke pihak perempuan, alias hilang.

Apakah uang jemputan dan uang hilang itu sama dengan mahar?
Ini juga sering jadi salah penafsiran bagi teman-teman saya yang non Pariaman. Mahar tetap ada, wajib diberikan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Sesuai dengan syariat agama Islam bahwa yang memberi mahar adalah laki-laki, maka laki-laki Pariaman yang mau menikah juga wajib memberikan mahar ke pihak perempuan.

Lalu bagaimana pula dengan tradisi perempuan melamar laki-laki?
Perlu diluruskan bahwa, yang melamar laki-laki itu bukan perempuannya, tapi keluarga si perempuan. Itupun dilakukan setelah pihak keluarga memperhatikan dan mempelajari profil calon "sumando" kaumnya.
Khadijah istri nabi juga menyampaikan niatnya ke keluarga Muhammad bukan?

Jadi tidak benar jika ada anggapan bahwa laki-laki di Pariaman itu di pandang rendah. Justru sebaliknya, sangat dihargai sehingga hadir istilah uang jemputan. Dan sebagai catatan juga, Pariaman punya panggilan khas kepada kaum laki-lakinya, yaitu "Ajo". Hanya di Pariaman laki-laki dipanggil "Ajo" yang sejatinya berasal dari kata Rajo (raja), orang yang sangat dihormati.

Komentar

Posting Komentar