PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG DEMOKRATIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.latar Belakang
Prestasi belajar matematika mengkhawatirkan bahkan mungkin lebih rendah dibanding dengan mata pelajaran lainnya. Beberapa peserta didik tidak menyukai matematika karena matematika penuh dengan hitungan dan miskin komunikasi. Beberapa pelajar juga berpikir bahwa matematika pelajaran yang membosankan, karena penuh rumus dan miskin nilai moral.

Beberapa ahli matematika mensinyalir bahwa kelemahan matematika pada peserta didik tersebut muncul karena pelajaran matematika di sekolah ditakuti bahkan dibenci oleh peserta didik. Banyak faktor yang menyebabkan matematika dianggap pelajaran sulit, diantaranya adalah karakteristik materi matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, penuh dengan lambang - lambang dan rumus yang membingungkan. Selain itu pengalaman belajar matematika dengan guru yang tidak menyenangkan, suka marah (galak), yang membingungkan, hanya senang memberi tugas tanpa ada umpan baliknya, turut membentuk sikap negatif peserta didik terhadap pelajaran matematika.
Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Untuk itu diperlukan sistem pembelajaran yang demokratis yaitu sistem pembelajaran dua arah antara guru dan siswa.





B.Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar para guru dan calon guru tahu apa itu pembelajaran matematika yang demokratis dan diharapkan dapat dijadikan inspirasi bagi para guru maupun calon guru untuk menerapkan pembelajaran yang demokratis di lapangan




BAB II
PEMBAHASAN

PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG DEMOKRATIS

Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa.
Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi, siswa bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu siswa diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pendapat yang berbeda.
Hasil belajar pada dasarnya merupakan hasil reaksi antara bahan pelajaran, pendapat guru, dan pengalaman siswa sendiri. Dalam pembelajaran, siswa betul-betul sebagai subyek belajar. Bukan sebagai botol kosong yang pasrah untuk diisi dengan berbagai ilmu oleh guru. Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan instruksional yang ditetapkan. Tanpa demokrasi di kelas, guru akan menjadi penguasa tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Siswa terkekang, dan akhirnya potensi kreativitasnya terbunuh.
Tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik
.Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya.Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing
Selanjutnya perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetendi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry
. Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan siswaseperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar professional.

Alasan perlunya pmbelajaran demokratis
 kenyataan bahwa guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dalam era globalisasi informasi sekarang, tidak bisa dimungkiri, akses terhadap berbagai sumber informasi menjadi begitu luas: televisi, radio, buku, koran, majalah, dan Internet. Saat berada di kelas, siswa telah memiliki seperangkat pengalaman, pengetahuan, dan informasi. Semua ini bisa sesuai dengan bahan pelajaran, bisa juga bertentangan.
 kompleksnya kehidupan yang bakal dihadapi siswa setelah lulus. Masa depan menuntut mereka mampu menyesuaikan diri. Prinsip belajar yang relevan adalah belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Artinya, di kelas target pembelajaran bukan sekadar penguasaan materi, melainkan siswa harus belajar juga bagaimana belajar (secara mandiri) untuk hal-hal lain. Ini bisa terjadi apabila dalam kegiatan pembelajaran siswa telah dibiasakan untuk berpikir mandiri, berani berpendapat, dan berani bereksperimen.
 dalam konteks pendidikan demokrasi masyarakat. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, siswa hendaknya sejak dini telah dibiasakan bersikap demokratis, bebas berpendapat tetapi tetap dalam rule of game. Ini bisa dimulai di kelas dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang menekankan adanya demokrasi.

Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dan potensi peserta didik. Prinsip belajar yang relevan adalah belajar bagaimana belajar. Artinya target pembelajaran di kelas bukan sekedar penguasaan materi, melainkan siswa harus belajar juga bagaimana belajar. Ini bisa terjadi apabila dalam kegiatan pembelajaran siswa telah dibiasakan untuk berpikir mandiri, berani berpendapat dan berani bereksperimen.
Tanggung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa.Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah
.Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran
Di sini pendidik harus sadar dan mampu membangun gaya belajar siswa, dimana setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik dan harus diberi kebebasan dalam menjalaninya. Demokrasi dan pendidikan lebih memberi kebebasan pada pengembangan potensi yang bersumber dari kecerdasan bawaan seperti:
1. Kecerdasan linguistik yang dimiliki oleh seorang novelis, penyair, penulis,
orator, editor dan jurnalis.
2. Kecerdasan logika matematika, misalnya pada ahli matematika, ilmuwan,
akuntan, pengacara dan sebagainya
3. Kecerdasan visual, musikal, kinestik dan lain-lain.
Matematika umumnya identik dengan perhitungan angka - angka dan rumus - rumus, sehingga muncullah anggapan bahwa skill komunikasi tidak dapat dibangun pada pembelajaran matematika. Angapan ini tentu saja tidak tepat, karena menurut Greenes dan Schulman, komunikasi dua arah dalam matematika memiliki peran :
(1) Kekuatan sentral bagi peserta didik dalam merumuskan konsep dan strategi matematika;
(2) Modal keberhasilan bagi peserta didik terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika
(3) Wadah bagi peserta didik dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mepertajam ide untuk meyakinkan yang lain
Hal ini senada dengan Lindquist yang menyatakan bahwa kita memerlukan komunikasi dalam matematika jika hendak meraih secara penuh tujuan sosial seperti melek matematika, belajar seumur hidup dan matematika untuk semua orang. Bahkan membangun komunikasi matematika memberikan manfaat pada peserta didik berupa :
• Memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik dan secara aljabar
• Merefleksi dan mengklarifikasi dalam berpikir mengenai gagasan - gagasan matematika dalam berbagai situasi.
• Mengembangkan pemahaman terhadap gagasan - gagasan matematika termasuk peranan definisi - definisi dalam matematika
• Menggunakan ketrampilan membaca, mendengar dan menulis untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika
• mengkaji gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang meyakinkan
• memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan gagasan matematika

usaha - usaha yang dapat dilakukan guru dalam menciptakan pembelajaran matematika yang demokratis
1. Mengembangkan suasana pembelajaran yang memberikan kebebasan peserta didik untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimiliki.
2. Guru membangun suasana pembelajaran yang memberikan kebebasan peserta didik untuk bergerak dan berkomunikasi dengan guru maupun temannya;
3. Mengembangkan dan membangun kegiatan pembelajaran yang kooperatif, dimana peserta didik dapat mengkomunikasikan gagasan - gagasan matematikanya kepada peserta didik lain;
4. Mengembangkan interaksi pembelajaran yang demokratis, dimana peserta didik memiliki kebebsan mengemukakan gagasan - gagasan matematikanya disertai dengan argumen mereka atas persoalan atau pernyataan yang disajikan oleh guru
5. Mengembangkan media pembelajaran yang memberikan daya tarik bagi peserta didik untuk memberikan komentar atau pernyataan berkaitan dengan konsep atau materi yang akan dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran
Hal - hal tersebut secara tidak langsung, kita telah melaksanakannya, misalnya dalam kegiatan pembelajaran materi statistika, dimana peserta didik diberikan lembar kerja untuk mengidentifikasi uang saku teman - temannya. Peserta didik secara tidak langsung telah melaksanakan komunikasi untuk memperoleh informasi data yang akan diisikan pada lembar kerjanya.
Selanjutnya peserta didik berkelompok untuk memperoleh rata - rata uang saku dari sejumlah teman yang didata. Disini peserta didik akan saling bertukar pendapat dengan anggota kelompoknya bagaimana menentukan rata - rata data yang diperolehnya, kemudian masing - masing saling meyakinkan kepada anggota kelompoknya mengenai rata - rata yang diperolehnya.
Peserta didik selanjutnya mendefinisikan tentang pengertian rata - rata tersebut kepada anggotanya sebelum mengutarakan pendapatnya di forum kelas. Dari kegiatan tersebut, ternyata komunikasi matematika dapat diciptakan dalam kegiatan pembelajaran matematika.

Kendala pelaksanaan pembelajaran demokratis
Dari pihak guru, kendala lebih bersifat psikologis. Bagaimanapun, selama ini guru telah tercitrakan sebagai orang yang serba tahu dan serba mampu. Bahkan, ada ungkapan, guru itu digugu dan ditiru. Ini menempatkan guru pada posisi superior-di atas siswa.
Guru memang harus berwibawa baik secara akademik maupun moral, tapi bukan berarti harus berlaku diktator dan otoriter. Harus ada perubahan paradigma, guru sekarang tidak harus serba tahu dan serba mampu karena hal itu memang mustahil. Yang penting, guru harus bisa menjadi fasilitator dan motivator sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Untuk bisa mengubah paradigma ini, guru harus menyadari bahwa wibawa tidak akan lenyap dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas. Bukankah justru wibawa guru akan terangkat bila ia mampu menampilkan performa sebagai guru yang egaliter, bisa diajak diskusi, terbuka, dan demokratis.
Sementara dari pihak siswa, kendalanya adalah belum adanya keberanian untuk berpendapat. Selama ini mereka telah terkondisi untuk pasif, menerima apa pun informasi dari guru tanpa kritik.
Kondisi ini harus diubah dengan cara mendorong mereka menyampaikan gagasan dan menghargainya. Apa pun pendapat siswa, guru harus bisa memberikan apresiasi secara positif. Melalui penghargaan dan apresiasi secara positif terhadap siswa, diharapkan berangsur-angsur siswa terbiasa berpikir aktif dan berani mengemukakan pendapatnya di kelas.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran matematika yang demokratis merupakan pembelajaran yang didalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa.
Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi, siswa bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu siswa diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pendapat yang berbeda.
Namun untuk melaksanakannya terdapat beberapa kendala baik dari pihak guru maupun siswa.karena itu baik guru maupun siswa hendaknya dapat mengatasi masalah tersebut dan guru harus mampu mensuport siswa agar pembelajaran matematika yang demokratis dapat berjalan dengan maksimal.



























DAFTAR PUSTAKA

Usman, M.U. (1997). Menjadi Guru profesional. Bandung : Rosda Karya.
Anni, Tri Chaterina. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UNNES Press.
Mudjiono & Dimyati. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud.
Sardiman. 1987. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: CV. Rajawali.
Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.

Komentar